SOREN AABY KIERKEGAARD

Profil & Pandangan Theologi

────────────────────────────────────────────────

SOREN AABY KIERKEGAARD

I. Latar Belakang

S.A. Kierkegaard, seorang tokoh dalam dunia theologi modern lahir pada tahun 1813. Kehidupan rohani keluarganya cukup baik. Hal itu nampak dari keterbukaan rumah mereka untuk acara ibadah dan nama keluarganya sendiri Kierkegaard yang berari Chruchyard. Hanya ayahnya pernah mengutuki Allah dan sempat menjalin hubungan dengan pelayannya hingga hamil dan terpaksa dinikahinya. Dari pernikahan itu lahir 7 orang anak dan Kierkegaard merupakan anak bungsu. Masa hidup Kierkegaard banyak dihabiskan dalam ketidakbahagian. Ibu dan 5 orang kakaknya berturut-turut meninggal. Ia sendiri cacat dan dalam tulisannya ia mengungkapkan kekwatirannya kalau ia akan mati mendandak.[1]

Seumur hidupnya, Kierkegaard dirongrong kemurungan dan kesendirian. Kierkegaard mempelajari teologi dalam waktu yang lama. Namun setelah lulus ia tidak mau ditahbiskan menjadi pendeta, ia hanya mengabdikan diri lewat tulisan-tulisannya hingga akhir hidupnya pada tahun 1855.[2] Keadaan gereja yang sekuler pada zamannya mendorong Kierkegaard menulis buku yang mengkritik gereja. Ia menemukan praktek hidup orang Kristen berlawanan dengan prinsip kristiani yang rela menderita dan miskin. Baginya ibadah di gereja seumpama perkumpulan angsa-angas musiman yang manggut-manggut dan kemudia terbang kembali.[3]

II. Pandangan-pandangan Theologianya

1. Allah

Menurut Kierkegaard ada suatu kesenjangan yang tak terhingga antara waktu dengan kekekalan, antara yang terbatas dengan yang tak terbatas, antara manusia dengan Allah. Allah adalah ‘Yang Tidak Dikenal.’[4] Selanjutnya ia mendefenisikan Allah demikian: ‘Allah adalah yang lain sama sekali’ dan ‘yang rupa-Nya bertentangan’ (tidak dalam diri-Nya tetapi terhadap manusia yang terbatas). Pertemuan dengan Allah hanya mungkin secara subjektif dan tidak mempunyai suatu sebab yang langsung masuk akal, melainkan harus ditangkap dengan lompatan kepercayaan.[5]

Pemikiran Kierkegaard bahwa Allah tidak masuk akal manusia yang terbatas dipengaruhi oleh filsuf Immanule Kant. Dia mengatakan: ‘Kalau Allah tidak ada, tidak mungkin membuktikan hal itu; dan kalau Dia ada, usaha membuktikan-Nya adalah usaha yang gila.’ Akal yang penuh semangat mengenal-Nya hanya akan berbenturan dengan Dia secara paradoks dan manusia akan bingun sendiri.[6]

2. Kristus

Kierkegaard percaya bahwa Yesus adalah tokoh sejarah dan kebangkitan-Nya adalah peristiwa sejarah pula. Tetapi ini hanya dipegang sebagai kebijaksanaan pribadi.[7] Keyakinannya itu semakin jelas lewat uraiannya tentang penjelmaan Kristus untuk menjembatani Allah Yang Tidak Dikenal dengan manusia.

Menurutnya kesenjangan antara Allah dengan manusia dapat dijembatani oleh Allah sendiri lewat inkarnasi Yesus. Dalam Yesus Allah menyatakan diri tetapi sifatnya terselubung. Hanya oleh mata iman, Allah nyata dalam Kristus. Jadi tidak ada keuntungan khusus bagi mereka yang sezaman dengan Yesus jika tidak memiliki iman ini. Mereka yang ‘sesungguhnya’ sezaman dengan Yesus adalah yang memiliki iman di dalam Dia. Kesimpulannya adalah pengetahuan historis tentang Yesus praktis tidak penting lagi.[8]

3. Alkitab

Menurut Kierkgaard Alkitab tidak ditulis oleh para penulis asli, tidak membentuk kesatuan dan tidak diilhami. Ia melihat Alkitab sebagai hal yang subjektif. Secara pribadi ia menerima Alkitab sebagai firman Allah, tetapi ia juga memungkiri bahwa kepercayaan tentang ilham mempunyai dasar objektif. Dan ia mengatakan bahwa ilham Alkitab tidak dapat dibantah dan juga tidak dapat diperkuat oleh fakta apapun karena itu hanya gambaran agama dan dalam bidang gambaran fakta tak berarti.[9]

Berkaitan dengan Allah, Kierkegaard mengatakan Alkitab tidak menjelaskan tentang Allah, melainkan hanya menunjuk pada Dia. Dengan demikian Alkitab hanya suatu usaha manusiawi untuk mencapai Allah tetapi tidak pernah mencapai sasaran. Jadi kalau ada yang mau menarik pengetahuan tentang Allah dari Alkitab, Kierkegaard melihatnya seperti seorang yang menjadikan Alkitab sebagai ‘Paus Kertas.’[10]

4. Keselamatan

Kierkegaard percaya bahwa keselamatan terjadi oleh karena Allah terlebih dahulu bekerja dalam hidup manusia, dan itulah yang memungkinkan manusia menjawab panggilan untuk beriman.[11] Namun lewat pemikiran teologianya yang didasarkan pada kebenaran yang subjektif akan terlihat bahwa ia mengutamakan pengalaman pribadi sebagai penentu dari keselamtan. Dengan itu pula bergeserlah inti iman kristiani dari iman kepada Kristus kepada pengalaman pribadi dengan Kristus.[12]

III. Tanggapan

Tulisan-tulisan Kierkegaard yang menekankan eksistensialisme pasti merupakan refleksi dari kehidupannya yang lama menyendiri. Lalu kekecewaannya terhadap gereja yang sekuler pada zamannya telah membentuknya menjadi pengkritik gereja.

Pandangan Kierkegaard tentang Allah, Kristus, Alkitab dan keselamtan menimbulkan pertentangan walaupun tidak seluruhnya salah. Ada bagian-bagian dari pandangannya yang masih sejalan dengan ajaran Alkitab, misalnya tentang inkarnasi Kristus, kebangkitan Kristus yang historis, Alkitab adalah firman Allah dan keselamatan oleh anugerah. Namun ketika Kierkegaard menekankan subjektivitas manusia ia jatuh pada kesalahan yang mengakibatkan bagian-bagian dari pandangannya yang alkitabiah tadi menjadi kabur.

Tidak salah Kiekergaard mendefenisikan Allah sebagai yang lain sama sekali dan yang rupa-Nya bertentangan karena memang dalam kacamata mansuia Allah sangat lain dari manusia. Namun disayangkan ia tidak memahami bahwa Allah yang transenden itu sekaligus imanen sehingga manusia bisa mengenal-Nya (sejauh yang Ia nyatakan). Pertemuan dengan Allah hanya mungkin secara subjektif menurut Kiekergaard, justru akan membuat Allah menjadi relatif, tergantung perasaan manusia. Ia tidak lagi absolute.

Pandagan Kiekergaard tentang inkarnsi dan kebangkitan Kristus yang historis sangat baik. Namun ia melakukan lagi kesalahan ketika itu dipegang hanya sebatas kebijaksanaan pribadi. Ia juga salah melihat hubungan Allah dengan Yesus. Ia memisahkan Allah dan Yesus, akibatnya adalah doktrin Tritunggal tidak diakui.

Pengakuan Kiekergaard akan Alkitab sebagai firman Allah sulit dipahami jika dibandingkan dengan pandangannya yang mengatakan Alkitab tidak ditul;is oleh penulis asli, tidak membentuk kesatuan dan tidak diilhami. Kemudian pernyataannya bahwa Alkitab tidak menjelaskan tentang Allah tetapi hanya menunjuk pada Allah jelas keliru. Ia tidak menyadari bahwa Alkitab sudah berterus terang menjelkaaskan tentang Allah.

Keyakinan Kierkegaard tentang keselamatan yang hanya oleh anugerah sangat alkitabiah namun karena ia memasukan teori kebenaran subjektifnya ke dalam doktrin keselamatan maka keselamtan oleh anugerah itu mulai bergeser. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Kierkegaard mengakui keselamatan oleh anugerah tanpa melepaskan keterlibatan pengalaman manusia utnuk memperoleh keselamtan itu. Dan kalau sudah begitu maka doktrin keselamatannya tidak lagi alkitabiah.

Samuel Novelman Wau, S.Th



[1] Yakub B. Susabda, Teologi Modern, (Jakrta: LRII),hal. 36.

[2] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK-GM), hal. 24.

[3] Susabda, ibid, hal. 38.

[4] Lane, ibid, hal. 234.

[5] Eta Linnemman, Teologi Kontemporer, (Malang: I-3), hal. 54.

[6] Ibid, hal. 56-57.

[7] Ibid, hal. 54.

[8] Lane, ibid, hal. 234-235.

[9] Linnemman, ibid, hal. 55-56.

[10] Ibid, hal. 57-58.

[11] Susabda, ibid, hal. 48.

[12] Ibid, hal. 54.

PERANAN PLURALISME DALAM MEREDAM PERTIKAIAN

Refleksi

────────────────────────────────────────────────

PERANAN PLURALISME DALAM MEREDAM PERTIKAIAN

I. Pendahuluan

Indonesia yang dulu kita bangga-banggakan sebagai bangsa yang ramah khususnya terhadap pendatang asing sekarang sudah banyak berubah. Keramahan itu tinggal kenangan – digantikan dengan ketidakharmonisan yang memalukan. Hal ini dikatakan karena faktanya di tengah-tengah bangsa ini bersembunyi sejumlah teroris dunia. Celakanya lagi justru beberapa nama kondang teroris dunia muncul diantara anak bangsa ini, sebut saja mereka yang dipidana mati karena kasus bom Bali beberapa tahun yang lalu. Terorisme sendiri bisa dikategorikan sebagai bentuk pertikaian. Pertikaian antara pihak peneror dengan pihak yang diteror.

Kondisi Indonesia yang tidak harmonis ini pasti akan memberikan dampak negatif dalam perjalanan kita sebagai sebuah bangsa. Dengan adanya kasus terorisme otomatis akan mendorong pemerintah negara-negara di dunia mengeluarkan travel warning bagi warga mereka yang ingin mengunjungi Indonesia. Akibatnya perekonomian bangsa ini akan semakin terpuruk apalagi dalam situasi sekarang dimana harga minyak dunia melonjak tajam yang turut mempengaruhi lonjakan harga sejumlah kebutuhan pokok. Dan ujung-ujungnya masyarakt kita akan semakin sengasara saja. Kasihan. Selain itu terorisme akan menimbulkan ketakutan terhadap masyarakat luas.

II. Latar Belakang Lahirnya Pertikaian

Sampai kapan perasaan takut ini harus menghantui masyarakt kita? Sangat sulit menjawab pertanyaan ini! Kalaupun ada yang berkompeten menjawabnya tetapi mengenai waktunya (kapan?) tidak bisa dipastikan. Walaupun begitu tetapi kita jangan pesimis. Untuk menemukan titik terang sampai kapan perasaan takut itu harus menghantui masyarakat kita, maka kita harus melihat ke belakang dulu, latar belakang lahirnya sebuah pertikaian khusunya dalam konteks terorisme.

Melihat sejarah teror ETA terhadap pemerintah Spanyol, militan Moro terhadap pemerintah Filipina, milisi Taliban terhadap pemerintah Afganistan / pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat, Hamas terhadap Israel dan teror-teror lainnya di berbagai belahan dunia maka dapat disimpulkan sebuah pertikaian bisa lahir dari persaingan yang tidak seimbang. Dua kubu tertentu awalnya saling bersaing untuk menguguli satu sama lain, namun lama kelamaan ketika persaingan tidak lagi berimbang, yang satu selalu terpojok sementara yang satu lagi selalu unggul maka kubu yang selalu terpojok berusaha menjatuhkan kubu yang selalu unggul tadi dengan menyebarkan teror.

Terorisme bisa juga lahir, tidak melulu karena persaingan yang tidak berimbang tetapi karena tekanan kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain (biasanya yang kuat terhadap yang lemah). Akibatnya kelompok yang lemah menyebarkan teror sebagai reaksi terhadap aksi yang menekan dari kelompok yang kuat. Dua faktor inilah yang telah melahirkan terorisme baik dalam skala lokal maupun skala internasional. Kalau saja persaingan yang tidak seimbang dan tekanan kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain bisa dihilangkan dari pergaulan umat manusia maka masalah terorisme bisa diselesaikan dan bila masalah terorisme sudah diselesaikan maka dengan sendirinya perasaan takut masyarakat kita bisa diakhiri.

III. Solusi

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menghilangkan kedua faktor di atas? Jawabannya adalah pluralisme. Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai keadaan masyarakt yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politknya). Bila konsep pluralisme ini yang mengakui dan menerima keberagaman dalam masyarakat, benar-benar diterapkan dalam kehidupan masyarakat dunia maka setiap individu / kelompok bisa mengakui dan menerima keberadaan individu / kelompok yang lain (berbeda). Kalaupun harus terjadi persaingan, maka tidak akan sampai menimbulkan persaingan yang menekan atau bahkan mematikan individu / kelompok tertentu. Implikasinya pertikaian bisa diakhiri dari dunia kita (atau setidak-tidaknya diminimalkan). Dari sini kita bisa lihat bahwa pluralisme mempunyai peranan penting dalam meredam pertikaian.

IV. Pluralisme dan Kekristenan

Dalam konteks kekristenan, pluralisme tidaklah bertentangan dengan iman Kristen. Hanya seringkali pluralisme terkesan bertentangan dengan iman Kristen karena masalah penafsirannya. Ada yang menafsirkan pluralisme secara sempit sehingga segala sesuatu termasuk hal-hal yang esensi mau dikompromikan. Akibatnya keunikan kekristenan, seperti keselamatan yang hanya di dalam Yesus tidak lagi menjadi hal yang mutlak. Karena itu pluralisme mestilah ditafsirkan dengan benar. Orang Kristen bisa memegang pluralisme: mengakui dan menerima agama / kepercayaan lain tanpa harus mengorbankan keunikan iman Kristen itu sendiri. Bila kita melihat ke belakang, kita akan menyaksikan bahwa tokoh-tokoh Alkitab pun bersifat pluralis. Contohnya Daniel, seorang hamba Allah mau bergaul dengan masyarakt Babel yang tidak beragama Yahudi dan Tuhan Yesus sendiri bisa hidup berdampingan dengan banyak orang yang menganut kepercayaan lain di Palestina dua ribu tahun lalu.

Samuel Novelman Wau, S.Th

TELAAH KRITIS TERHADAP DEMITOLOGISASI BULTMANN DALAM KAITANNYA DENGAN INERANSI ALKITAB

Teologi Sistematika

─────────────────────────────────────────────────────

TELAAH KRITIS TERHADAP DEMITOLOGISASI BULTMANN DALAM KAITANNYA DENGAN INERANSI ALKITAB

I. Pendahuluan

Pandangan teologi Bultmann tentang demitologisasi yang tertuang dalam karya-karya besarnya, seperti Jesus Christ and Mytheology, Kerygma and Mythe dan The Theology of the New Testament[1] telah menyerang keyakinan ortodoksi tentang ineransi Alkitab yang sudah berabad-abad dipegang. Dan juga membuat tidak sedikit orang menjadi skeptis terhadap kesaksian Alkitab itu. Seandainya sejarah bisa diulang kembali, mungkin akan ada upaya untuk membatalkan demitologisasi Bultmann ini, demi menjaga keyakinan ortodoksi di atas. Namun hal itu tidak mungkin. Sejarah tidak akan pernah bisa diulang – sejarah akan terus berjalan secara linear. Karena itu teologi terpanggil untuk menggumuli demitologisasi Bultmann ini dalam kaitannya dengan ineransi Alkitab.

Sebagai implementasi dari pergumulan teologi tersebut, di sini penulis mendedikasikan sebuah karya yang berjudul Telaah Kritis Terhadap Demitologisasi Bultmann Dalam Kaitannya Dengan Ineransi Alkitab. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan sedikit latar belakang Bultmann, lalu konsep demitologisasinya, diteruskan dengan keyakinan ineransi Alkitab dan akan ditutup dengan sebuah telaan kritis.

II. Latar Belakang Bultmann

Rudolf Karl Bultmann yang mencetuskan ide demitologisasi dilahirkan pada tahun 1884 di Jerman dari keluarga pendeta Lutheran. Ia pernah belajar di beberapa universitas ternama dan di sana ia bertemu dngan banyak teolog ternama pula yang turut mempengaruhi pemikiran-pemikirannya di kemudian hari.

Dalam karier akademisnya, Bultmann dikenal sebagai seorang ahli Perjanjian Baru dan ahli pikir yang sistematis. Ia juga menyandang predikat sebagai teolog, historikus, filsuf dan ahli ilmu agama. Bersama Karl Barth dan Paul Tillich, Bultmann dikenal sebagai teolog besar pada abad ke-20.[2]

III. Pandangan Teologi Bultmann: Demitologisasi Alkitab

Bultmann adalah seorang teolog yang sangt serius memikirkan bagaimana Injil yang dari zaman prailmiah dapat diberitkan kepada manusia modern. Ia merasa terpanggil untuk menemukan suatu cara baru agar Injil boleh menyapa dan membuat manusia modern mengambil keputusan pribadi terhadap berita Injil.[3]

Pemikiran inovatif Bultmann ini tentu saja berkatian erat dengan Metode Kritik Bentuk-nya terhadap Perjanjian Baru. Melalui metode itu Bultmann mencoba menelusuri perkembangan lebih awal dari kisah-kisah Injil dalam penurunannya dan fungsinya dalam gereja purba. Ia mau menentukan kehistorisan kisah-kisah itu. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa kebanyakan ucapan Yesus tidak berasal dari Yesus sendiri tetapi hasil redaksi dari jemaat purba.[4]

Selanjutnya, Bultmann juga tidak mengakui Alkitab sebagai firman Allah yang telah diwahyukan. Menurutnya, meskipun Allah berbicara kepada manusia melalui Alkitab, namun Alkitab itu merupakan hasil pengaruh sejarah dari agama kuno dan harus diadili seperti literatur religius kuno lainnya. Prinsip Kritik Bentuk Bultmann ialah ‘merombak’ Injil dan kemudian mencoba menemukan bentuk asli dari Inji itu, lalu sedapat mungkin disusun kembali.[5]

Dari situ Bultmann mengembangkan suatu pemikiran baru dalam dunia teologi yang dikemas dengan istilah demitologisasi. Menurutnya, demitologisasi adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di belakang konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Perjanjian Baru.[6] Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos karena itulah diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaina bahsa, simbol dan gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan perbuatan-perbuatan Allah.[7]

Menururt Bultmann, mitos yang ada dalam Alkitab bersumber dari pola pikir orang Yahudi pada abad pertama yang melihat dunia ini sebagai sistem yang terbuka terhadap Allah dan kuasa-kuasa supranatural. Alam semesta dinyatakan dalam tingkat tiga, yakni surga, dunia dan neraka. Ini merupakan pandangan semesta yang ada dalam Alkitab. Sifat dunia yang mitologis ini diterapkan juga oleh jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru khususnya mengenai kisah Yesus. Pribadi Yesus dalam sejarah telah diubah dalam bentuk mitos sehingga Yesus tampil sebagai makhluk ilahi yang berpraeksistensi, berinkarnasi, mati, bangkit, naik ke surga dan akan datang kembali menghakimi dunia. Mitos-mitos ini dilengkapi juga dengan cerita mujizat dan kemenagnan atas setan-setan.[8]

Menurutnya lagi, mitos ini akan sulit diterapkan dalam dunia modern. Setidaknya ada dua alasan yang membuat orang yang hidup di dunia modern tidak bisa menerima mitos, yaitu pengetahuan ilmiah dan pandangan manusia modern tentang dirinya. Mengenai dirinya, manusia modern memandang tidak lagi sebagai pribadi yang terbuka terhadap inteversi kekuasaan supranatural. Manusia saat ini melihat dirinya sebagai makhluk yang mampu berdiri sendiri. Dalam kemandirannya itu manusia modern tentu akan sulit percaya mitos tentang kekuasaan supranatural, maut, penebusan, kebangkitan dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak dapat dimengerti dalam konterks kemajuan pengetahuan ilmiah modern.[9]

Bultmann melanjutkan; kendati Alkitab dipenuhi dengan mitos tetapi semuanya itu tidak boleh dibuang begitu saja. Sebab jika hal itu dilakukan berarti sama saja dengan membuang semua halaman Alkitab yang penuh mitos.[10] Untuk menyelesaikan dilema ini maka Bultmann mengusulkan jalan keluarnya lewat demitologisasi. Demitologisasi bertugas untuk mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba menyingkapkan inti berita yang disebut dengan istilah kerygma di balik mitos tersebut sehingga Injil bisa dikomunikasikan secara efektif kepada manusia modern.[11]

Untuk bisa menemukan kerygma, Bultmann menggunakan metode penafsiran eksistensialisme atas Alkitab. Keyakinan bahwa Perjanjian Baru ditulis berdasarkan literatur Yahudi dan mitos yang tidak relevan lagi dengan manusia modern membuat Bultmann menafsirkan Alkitab secara eksistensial. Penafsiran ini bergantung pada manusia dimana pengalaman pribadilah yang mengontrol dan menentukan arah dan berita Alkitab, bukan lagi Roh Kudus. Isi Alkitab cenderung dicocokan dengan kondisi manusia.[12]

IV. Keyakinan Ortodoksi: Ineransi alkitab

Alkitab yang merupakan buku tertua di dunia diyakini oleh setidaknya kaum ortodksi Kristen bukan saja sebagai literatur agma kuno tetapi lebih dari itu Alkitab diyakini sebagai firman Allah. Alkitab yang adalah firman Allah tidak muncul begitu saja tanpa penyebab. Keberadaan Alkitab disebakan adanya pengilhaman Roh Allah yang menguasai dan mendorong hamba-hamba-Nya untuk menulis Alkitab. Dan oleh karena Alkitab diilhamkan oleh Roh Allah maka dengan sendirinya Alkitab memiliki wibawa ilahi.[13]

Sebagai kitab yang diilhami Roh Allah dan yang memiliki wibawa ilahi, kaum ortodoksi meyakini pula bahwa Alkitab sempurna, tidak mengandung kesalahan atau yang disebut dengan istilah ineransi. Yang dimaksud dengan ineransi di sini adalah keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis dan tanpa salah pada naskah aslinya. Hal ini berarti Alkitab harus dimengerti dari sudut latar belakang kebudayaan dan standar komunikasi yang ada pada waktu penulisannya. Bersama dengan itu ada juga praanggapan bahwa Allah yang benar mampu mengkomunikasikan firman-Nya dengan benar, tanpa salah.[14] Alkitab yang ineransi di sini adalah kanon Alkitab yang terdiri dari 66 kitab dan diakui oleh konsili Kristen di kota Karthago pada tahun 397.[15]

Dalam proses penulisan Alkitab yang diakui ineransi ada terdapat unsur manusiawi. Ketika menulis Alkitab, para penulis menulis dalam kesadaran penuh sebagai manusia. Bahkan bakat, pendindikan dan budaya para penulis terlihat jelas dalam tulisan masing-masing.[16] Adanya unsur manusiawi ini tidak mengurangi keyakinan akan ineransi Alkitab karena Roh Allah yang menuntun dan mengawasi para penulis sehingga mereka dapat menulis sesuai kehendak-Nya tanpa penyimpangan sedikit pun.[17]

Diakui bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang terkesan melemahkan akan keyakinan ineransi. Bagian-bagian tersebut adalah seperti yang tidak sesuai dengan ilmu modern, pemaparan alam yang fenomenal dan penggunaan gaya bahasa yang hiperbola.[18] Bagian-bagian yang dilematis ini bisa diluruskan dengan memahami bahwa ineransi Alkitab sebagi ketidakbersalahan dalam megatakan kebenaran.[19] Kebenaran tersebut adalah sesuatu yang berkoresponden, dengan fakta yang terbuka untuk diteliti dan diverifikasi ketepatannya.[20]

V. Telaah Kritis

Motivasi awal Bultmann dalam demitologisasinya sangat mulia dan tidak bermaksud menghina Alkitab. Ia mau menjadikan firman Allah yang ditulis pada zaman prailmiah dapat dimengerti oleh manusia modern sehinggga sabda Allah dapat didengarkan. Namun akibat dari teologi Bultmann ini ternyata justru menyerang Alkitab itu sendiri dari sisi ineransinya – demitologissasi menganggap Alkitab penuh dengan mitos.

Demitologisasi Bultmann membangun suatu anggapan bahwa selama kurang lebih 2000 tahun kekristenan telah dibangun dan berkembang di atas dasar mitos-mitos Alkitab yang tidak dapat dipercaya sehingga akan membuat siapapun menjadi skeptis tehadap kekristenan. Demitologisasi juga menyangkali isi Alkitab yang sifatnya supranatural dan sebagai akibatnya adalah kebangkitan Kristus (dianggap mitos) yang merupakan dasar iman Kristen ikut disangkali. Sebagai puncaknya, yaitu demitologisasi menyangkali inerasni Alkitab. Alkitab tidak lagi tidak mengandung kesalahan. Alkitab penuh dengan mitos-mitos yang bukan fakta sejarah. Dan karena Alkitab penuh dengan mitos maka tentu Alkitab bukan firman Allah melainkan hanya literatur agama kuno belaka yang berasal dari jemaat mula-mula. Oleh karena demitologisasi tidak sejalan dengan ineransi Alkitab tetapi justru menyerangnya maka ditinjau dari perspektif ortodoksi, teologi Bultmann ini sulit untuk diterima. Teologi Bultmann merusak dasar iman Kristen.

Kesalahan dari demitologisasi adalah adanya praanggapan bahwa Alkitab ditulis dalam nuansa mitologis. Praanggapan ini muncul karena dilihat bahwa isi Alkitab berbeda (asing) sekali dengan konteks manusia modern. Perbedaan itu ada karena Alkitab ditulis dalam konteks ‘dunia’ para penulis yang tentu saja jauh berbeda dengan konteks dunia modern. Jadi perbedaan ini adalalah wajar muncul. Tetapi dengan adanya perbedaan bukan berari isi Alkitab mitos. Dengan demikian praanggapan dari demitologisasi tidak dapat diterima. Kesalahan lain demitologisasi terletak pada metode penafsirannya. Dalam mengupas mitos Alkitab, Bultmann menggunakan penafsiran eksistensial, yang sifatnya tidak objektif melainkan subjektif, yang kebenarannya bergantung pada perasaan penafsir semata. Dengan subjektifitas ini apakah demitologisasi masih bisa dijadikan sebagai pegangan dalam menemukan pesan firman Allah? Tentu tidak!

Maksud mulia Bultmann yang mau memberitakan Injil kepada manusia modern sehingga membuatnya menempuh jalan demitologisasi memang patut dihargai namun Bultmann lupa bahwa hanyalah pekerjaan Roh Allah saja yang mampu menjamah hati manusia hingga manusia itu menerima Injil, bukan demitologisasi.

Samuel Novelman Wau, S.Th



[1] Yakub B. Susabda, Seri Pengantara Teologi Modern volume 1, (Jakarta: LRII, 1990), hal. 124-125.

[2] Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 1999), hal. 70.

[3] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2000), hal. 61.

[4] Tony Lane, Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hal. 237.

[5] Harvei M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), hal. 42-43.

[6] Susabda, ibid, hal. 128.

[7] Debora Suprihatin, Skripsi: Interpretasi Perjanjian Baru: Suatu Studi Terhadap Demitologisasi Bultmann, (Jakarta: STTIN, 2001), hal. 19.

[8] Coon, ibid, hal. 50.

[9] Hadiwijoyo, bid, hal. 73.

[10] J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologianya, (Jakarta: BPK-GM, 1989), hal. 11.

[11] Coon, ibid, hal. 51.

[12] Suprihatin, ibid, hal. 32-33.

[13] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: GM, 1995), hal. 96-97.

[14] Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen volume 1, (Bandung: KH), hal. 108.

[15] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 52.

[16] Ibid, hal. 73.

[17] Thiessen, ibid, hal. 100.

[18] Lukitao, ibid, hal. 109.

[19] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar volume 1, (Yogyakarta: Andi, 1991), hal. 108.

[20] Lukito, ibid, hal. 109.

METODE APOLOGETIKA DALAM KONTEKS ISLAM INDONESIA

Apologetika

─────────────────────────────────────────

METODE APOLOGETIKA DALAM KONTEKS

ISLAM INDONESIA

I. Pendahuluan

Dalam upaya umat Kristen berapologetika kepada umat Islam di Indonesia ada banyak metode yang sudah dilakukan, salah satunya, yaitu dengan metode pembuktian (evidential). Orang Kristen berusaha menyampaikan dan mengajak umat Islam menerima kebenaran iman Kristen dengan memaparkan banyak bukti yang meneguhkan kebenaran kekristenan. Misalnya, dalam sebagian besar isi buku Diskusi Ismael-Ishak jilid 1-3 penulis membuktikan kebenaran kebangkitan Kristus dengan banyak bukti yang akurat dan yang bersumber dari Alkitab, fakta sejarah, kesaksian orang banyak dan lain-lainnya.[1]

Upaya di atas sangat baik untuk menjawab buku-buku yang selalu memojokkan kekristenan dan juga sangat menolong orang Kristen untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada orang Islam di Indonesia. Namun metode seperti ini hanya akan memuasakan intelektual manusia yang memang menuntut bukti-bukti rasional. Sebaliknya memberikan banyak bukti kepada pendengar belum tentu ia akan percaya. Hanyalah pekerjaan Roh Kudus yang dapat menjamah hati manusia untuk percaya kepada Yesus. Jadi dari sini nampak bahwa berapologetika dalam konteks Islam Indonesia dengan metode pembuktian kurang tepat. Lalu dengan metode apa?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba menemukannya lewat konsep teistik (kepercayaan kepada Allah) orang Islam Indonesia khususnya Islam santri.

II. Konteks Islam Santri di Indonesia

Agama Islam dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang Gujarat dan Persia sekitar pertengahan abad ke-13.[2] Setelah agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara, terjadilah perpaduan antara budaya Islam yang bercorak Arab dengan budaya Indonesia yang sebelumnya dipengaruhi Hindu. Bentuk dari budaya Islam-Arab yang masuk ke Indonesia terlihat dalam bentuk seni bangunan (masjid), seni rupa (kaligrafi), aksara (Arab-Melayu), pemerintahan sebelum kemerdekaan (kesultanan).[3] Bahkan yang lebih konkret saat ini, seperti cara berpakaian (jilbab) dan penerapan syariah di kantong-kantong Islam, merupakan pengaruh dari budaya Arab-Islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak hanya mempengaruhi budaya orang Indoneisa tetapi juga konsep teistik orang Indoneisa.

Agama Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad di Mekah pada abad ke-7[4] mengajarkan kepercayaan kepada keesaan Allah (tauhid). Ajaran tauhid ini terdapat dalam Surat 112, yang berbunyi: “Katakanlah: Dia, Allah, itu esa. Allah itu Dzat yang segala sesuatu bergantung pada-Nya. Ia tidak berputera, dan Ia tidak diputerakan, dan tak seorang pun menyertai Dia.” Lawan dari keesaan adalah syirik yang artinya mempersekutukan tuhan lain selain Allah.[5]

Dalam Al-Quran, Trinitas dikecam sebagai bentuk syirik. Al-Quran mencatat: “Maka berimanlah kepada Allah dan para utusan-Nya. Dan janganlah kamu berkata: Tiga. Hentikanlah…” selanjutnya, ajaran tentang Allah berputera dikecam juga oleh Al-Quran. Sejumlah ayat yang mengecam konsep Allah berputera, yaitu 2:116; 6:102-104; 17:111; 112:3.[6]

Bagi orang Islam, Allah yang esa itu merupakan pribadi yang mengatasi segala paham kebendaan, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, Ia berbeda sama sekali dengan manusia yang terbatas. Dan Ia tidak bisa digambarkan dengan apapun juga.[7] Di dalam Al-Quran juga disebutkan 99 sifat Allah. Sifat-sifat ini menekankan bahwa Ia lebih besar, sumber semua kualitas positif di alam semesta. Dunia menjadi ada karena ia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas), Al-Muhyi (memberi kehidupan), Al-Alim (mengetahui segala sesuatu dan Al-Kalim (berfirman).[8]

Konsep teistik Islam ini dianut oleh semua orang Islam di Indonesia, khususnya Islam santri yang cenderung rasionalis dan mempunyai peranan besar dalam mempertahankan dan mengembangkan keberadaan Islam di bumi Indonesia.

III. Metode Presuposisional Terhadap Konsep Teistik Islam Santri di Indonesia

1. Kemungkina Presuposisioanl dalam berapologet

Berapologet kepada orang Islam santri di Indonesia dengan metode presuposisioanal apologetic (bergantung pada Allah) tidaklah sesulit jika berapologet kepada seorang ateis (yang tidak bergantung pada Allah) dengan metode yang sama pula. Ada titik temu yang memudahkan seorang apologis membangun dialog dengan orang Islam Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Allah.[9]

Kepercayaan kepada Allah ini merupakan modal pertama seorang apologis Kristen untuk berapologet dengan orang Islam Indonesia. Hanya perlu diakui bahwa Allah dalam agama Islam tidak sama dengan konsep Allah Alkitab yang menjadi presuposisional apologetic apologis Kristen. Karena itu tugas apologis berikutnya, yaitu memperjelas presuposisionalnya dari yang bergantung pada Allah dalam pengertian umum kepada Allah Alkitab. Artinya ketika apologis berapologet terhadap konsep teistik Islam santri ia harus selalu berpresuposisikan ketuhanan Yesus.

2. Pengertian Presuposisional apologetic

Presuposisioanl apologetic tidak menolak sepenuhnya bukti-bukti dalam berapologet. Namun prinsip utama metode ini adalah lebih mengedepankan proses logika saat berargumentasi. Dalam proses logika harus ada titik berangkat bersama antara apologis dengan lawan apologetnya. Dan titik berangkat itu adalah presuposisional, komitmen dasar, yang terdiri dari dua sisi, yaitu bergantung pada Allah atau tidak betantung pada Allah.[10]

Di dalam bukunya, John M. Frame menulis: “Seorang apologis Kristen haruslah orang yang percaya di dalam Kristus, dan berekomitmen terhdap ketuhanan Yesus.” Ia menutip 1 Petrus 3:15: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan.”[11] Selanjutnya ia mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi apologis harus berpresuposisikan ketuhanan tersebut.[12] Dengan demikian seorang apologis ketika berapologet harus selalu berangkat dari komitmen dasar yang beragantung pada Allah dan menyingkirkan semua presuposisional lain.

3. Apologetika berdasarkan presuposisioanl apologetic

Konsep teistik Islam seperti sifat-sifat Allah dan kemutlakkan-Nya hampir sama dengan teistik Kristen sehingga tidak perlu lagi diangkat sebagai isu apologetika. Namun keesaan (tauhid) Allah yang berakibat menyerang konsep ‘Tritunggal’ dan konsep ‘Anak Allah’ harus ditinjau kembali berdasarkan presuposisional apologetic.

Dalam bukunya, Islamologi, Maulana menerangkan bahwa Allah adalah Dzat yang esa. Yang dimaksud esa Dzatnya ialah bahwa tak ada tuhan lebih dari satu dan tak ada sekutu bagi-Nya.[13] Dengan demikian kata esa ini menekankan dua hal, yaitu pertama, esa sama dengan satu, dan angka satu tidak memberikan tempat bagi konsep Tritunggal. Kedua, esa berarti menolak sekutu yang lain, dan penolakan itu tidak memberikan juga tempat bagi konsep Anak Allah.

Menjawab teistik Islam ini, seorang apologis harus menggunakan presuposisional apologetic, yaitu proses logika. Kata esa di atas yang menekankan dua hal bisa dijawab demikian: Pertama, esa sama dengan satu. Angka satu adalah angka matematis manusia yang terbatas. Allah bukanlah manusia yang terbatas. Jadi Allah yang esa tidaklah harus satu tetapi bisa lebih dari satu, yaitu Tritunggal. Kedua, esa menolak sekutu yang lain, Anak Allah. Anak dalam pengertian manusia adalah seorang yang dilahirkan / hasil dari hubungan biologis pria dan wanita (manusia). Allah adalah Roh, Ia bukan manusia. Jadi Allah yang esa bisa mempunyai anak (sekutu) yang tidak sama dengan pengertian manusia (biologis).

4. Sumbangsih Konsep Defeater

Konsep teistik Islam santri di Indonesia merupakan point penting yang sangat menolong untuk menerapkan metode presuposisional apologetic dalam konteks Islam Indonesia. Hanya, apabila metode ini sudah memasuki ruang dialog yang riil akan mengalami benturan dengan paradigma Islam santri yagn rasionalis. Misalnya, apologis berargumentasi dengan presuposisional demikian: “Yesus adalah Allah yang Mahakuasa.” Kemungkinan lawan akan menjawab: “Secara historis Yesus dikenal sebagai manusia biasa.” Apabila sudah demikian maka dialog akan terhenti dan apologet kristiani pun gagal. Mengatasi hal seperti itu maka perlu ada faktor penunjang terhadap metode presuposisioanl aspologetic sehingga ini bisa efektif diterapkan dalam sebuah dialog.

Seorang tokoh yang memperkenalkan metode presuposisional apologetic, memformulasikan juga apologetik dalam konsep yang disebut dengan defeater, yaitu suatu argumentasi yang mengalahkan sebuah kepercayaan.[14] Dengan konsep ini seorang apologis bisa memberikan sanggahan terhadap pernyataan lawan dialognya yang rasionalis, contohnya:

Apologis : Yesus adalah Allah yang Mahakuasa

Lawan : Secara historis Yesus dikenal sebagai manusia biasa.

Kesimpulan : Tidak rasional mengatakan bahwa Yesus adalah

Allah yang Mahakuasa

Defeater : Dalam kemahakuasaan-Nya Allah bisa menjadi apa

saja termasuk menjadi manusia.

Defeater ini bisa membantu apologis untuk terus membangun dialog dengan lawan apologetnya dalam kerangka presuposisional apologetic.

IV. Kesimpulan

Dari uraian di atas nampak bahwa berapologet dengan menggunakan metode pembuktian (evidential) dalam konteks Islam di Indonesia kurang tepat. Sebaliknya metode presuposisional apologetic lebih tepat untuk diterapkan, karena ada titik temunya dengan lawan dialog, yaitu unsur kepercayaan kepada Allah yang ada dalam diri orang Islam Indonesia. Metode ini akan semakin efektif diterapkan dalam sebuah dialog jika didukung dengan konsep defeater.

Walaupun demikian namun perlu diperhatikan bahwa metode yang terbaik sekalipun belum tentu bisa membawa orang percaya kepada Kristus. Metode-metode tertentu yang diformulasikan tidak berarti bisa menghilangkan masalah spiritual, yakni sikap berdosa dengan hanya menjadi bersifat intelektual. Sikap berdosa dapat hadir, tidak perduli jenis metode apa yang digunakan.[15]

Samuel Novelman Wau, S.Th



[1] Kamil Mukamil, Diskusi Ismael-Ishak 2, (Jakarta: Yayasan Al-Rahman), hal. 119-130.

[2] Hassan Sadily dkk, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve), hal. 1496.

[3] Andy Wasis, Leksikon Sejarah Nasional-Umum-Islam, (Jakarta: Nimas Multima), hal. 70.

[4] Sadily, ibid.

[5] Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Jakarta: Darul Kutabil Islamiyah), hal. 168-169.

[6] Ibid, hal. 174-176.

[7] Ibid, hal. 180.

[8] Irene Handono, Islam Dihujat (Menjawab Buku The Islamic Invasion), (Kudus: Bima Rhodesta), hal. 100.

[9] Allah yang dimaksud adalah masih dalam pengertian umum.

[10] Catatan Mata Kuliah Apologetika Kristen, Robert Petrus, semester IX, 2005

[11] John M. Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah, (Surabaya: Momentum), hal. 6.

[12] Ibid, hal. 13.

[13] Maulana M. Ali, ibid, hal. 168.

[14] Catatan Matakuliah, Apologetika Krsiten, Robert Petrus, Semester IX, 2005.

[15] Frame, ibid, hal. 100.

LAGU KEBANGSAAN ISRAEL

Hatikva merupakan lagu kebangsaan Israel. Kata Ibrani ini arti harafiahnya adalah "Harapan". Lirik Hatikvah digubah oleh Naphtali Herz Imber (1856-1909) di Jassy pada tahun 1878. Ia berasal dari Galisia (sekarang berada di Polandia, Rumania dan Ukraina). Pada proklamasi Israel pada tahun 1948, lagu ini dijadikan lagu kebangsaan Israel. כל עוד בלבב פנימה Kol `od balevav P'nimah Jauh di lubuk hati, נפש יהודי הומיה, Nefesh Yehudi homiyah, nafas seorang Yahudi mendesah, ולפאתי מזרח קדימה Ulfa'atey mizrach kadimah dan sampai ke ufuk timur, עין לציון צופיה Ayin l'tzion tzofiyah. mata tetap memandang Zion, עוד לא אבדה תקותנו, Od lo avdah tikvatenu Tetapi harapan kami tidaklah hilang, התקוה בת שנות אלפים, Hatikvah bat shnot alpayim: Harapan selama duaribu tahun, להיות עםחופשיבארצנו Li'hyot am chofshi b'artzenu Menjadi orang merdeka di tanah sendiri, ארץ ציון וירושלים. Eretz Tzion v'Yerushalayim.Tanah Zion dan Yerusalem.

TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN ISRAEL

Oleh karena itu kami sebagai anggota dewan rakyat, representasi Masyarakat Yahudi dan Gerakan Zionis berada di sini untuk berkumpul pada hari berakhirnya mandat Inggris Raya atas Eretz-Israel. Atas dasar hak alamiah dan hak kesejarahan serta kekuatan resolusi Majelis Umum PBB, dengan ini kami memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah Israel yang akan disebut Negara Israel (18 Mei 1948)

Komen di sini


ShoutMix chat widget