Teologi Sistematika
─────────────────────────────────────────────────────
TELAAH KRITIS TERHADAP DEMITOLOGISASI BULTMANN DALAM KAITANNYA DENGAN INERANSI ALKITAB
I. Pendahuluan
Pandangan teologi Bultmann tentang demitologisasi yang tertuang dalam karya-karya besarnya, seperti Jesus Christ and Mytheology, Kerygma and Mythe dan The Theology of the New Testament[1] telah menyerang keyakinan ortodoksi tentang ineransi Alkitab yang sudah berabad-abad dipegang. Dan juga membuat tidak sedikit orang menjadi skeptis terhadap kesaksian Alkitab itu. Seandainya sejarah bisa diulang kembali, mungkin akan ada upaya untuk membatalkan demitologisasi Bultmann ini, demi menjaga keyakinan ortodoksi di atas. Namun hal itu tidak mungkin. Sejarah tidak akan pernah bisa diulang – sejarah akan terus berjalan secara linear. Karena itu teologi terpanggil untuk menggumuli demitologisasi Bultmann ini dalam kaitannya dengan ineransi Alkitab.
Sebagai implementasi dari pergumulan teologi tersebut, di sini penulis mendedikasikan sebuah karya yang berjudul Telaah Kritis Terhadap Demitologisasi Bultmann Dalam Kaitannya Dengan Ineransi Alkitab. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan sedikit latar belakang Bultmann, lalu konsep demitologisasinya, diteruskan dengan keyakinan ineransi Alkitab dan akan ditutup dengan sebuah telaan kritis.
II. Latar Belakang Bultmann
Rudolf Karl Bultmann yang mencetuskan ide demitologisasi dilahirkan pada tahun 1884 di Jerman dari keluarga pendeta Lutheran. Ia pernah belajar di beberapa universitas ternama dan di sana ia bertemu dngan banyak teolog ternama pula yang turut mempengaruhi pemikiran-pemikirannya di kemudian hari.
Dalam karier akademisnya, Bultmann dikenal sebagai seorang ahli Perjanjian Baru dan ahli pikir yang sistematis. Ia juga menyandang predikat sebagai teolog, historikus, filsuf dan ahli ilmu agama. Bersama Karl Barth dan Paul Tillich, Bultmann dikenal sebagai teolog besar pada abad ke-20.[2]
III. Pandangan Teologi Bultmann: Demitologisasi Alkitab
Bultmann adalah seorang teolog yang sangt serius memikirkan bagaimana Injil yang dari zaman prailmiah dapat diberitkan kepada manusia modern. Ia merasa terpanggil untuk menemukan suatu cara baru agar Injil boleh menyapa dan membuat manusia modern mengambil keputusan pribadi terhadap berita Injil.[3]
Pemikiran inovatif Bultmann ini tentu saja berkatian erat dengan Metode Kritik Bentuk-nya terhadap Perjanjian Baru. Melalui metode itu Bultmann mencoba menelusuri perkembangan lebih awal dari kisah-kisah Injil dalam penurunannya dan fungsinya dalam gereja purba. Ia mau menentukan kehistorisan kisah-kisah itu. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa kebanyakan ucapan Yesus tidak berasal dari Yesus sendiri tetapi hasil redaksi dari jemaat purba.[4]
Selanjutnya, Bultmann juga tidak mengakui Alkitab sebagai firman Allah yang telah diwahyukan. Menurutnya, meskipun Allah berbicara kepada manusia melalui Alkitab, namun Alkitab itu merupakan hasil pengaruh sejarah dari agama kuno dan harus diadili seperti literatur religius kuno lainnya. Prinsip Kritik Bentuk Bultmann ialah ‘merombak’ Injil dan kemudian mencoba menemukan bentuk asli dari Inji itu, lalu sedapat mungkin disusun kembali.[5]
Dari situ Bultmann mengembangkan suatu pemikiran baru dalam dunia teologi yang dikemas dengan istilah demitologisasi. Menurutnya, demitologisasi adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di belakang konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Perjanjian Baru.[6] Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos karena itulah diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaina bahsa, simbol dan gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan perbuatan-perbuatan Allah.[7]
Menururt Bultmann, mitos yang ada dalam Alkitab bersumber dari pola pikir orang Yahudi pada abad pertama yang melihat dunia ini sebagai sistem yang terbuka terhadap Allah dan kuasa-kuasa supranatural. Alam semesta dinyatakan dalam tingkat tiga, yakni surga, dunia dan neraka. Ini merupakan pandangan semesta yang ada dalam Alkitab. Sifat dunia yang mitologis ini diterapkan juga oleh jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru khususnya mengenai kisah Yesus. Pribadi Yesus dalam sejarah telah diubah dalam bentuk mitos sehingga Yesus tampil sebagai makhluk ilahi yang berpraeksistensi, berinkarnasi, mati, bangkit, naik ke surga dan akan datang kembali menghakimi dunia. Mitos-mitos ini dilengkapi juga dengan cerita mujizat dan kemenagnan atas setan-setan.[8]
Menurutnya lagi, mitos ini akan sulit diterapkan dalam dunia modern. Setidaknya ada dua alasan yang membuat orang yang hidup di dunia modern tidak bisa menerima mitos, yaitu pengetahuan ilmiah dan pandangan manusia modern tentang dirinya. Mengenai dirinya, manusia modern memandang tidak lagi sebagai pribadi yang terbuka terhadap inteversi kekuasaan supranatural. Manusia saat ini melihat dirinya sebagai makhluk yang mampu berdiri sendiri. Dalam kemandirannya itu manusia modern tentu akan sulit percaya mitos tentang kekuasaan supranatural, maut, penebusan, kebangkitan dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak dapat dimengerti dalam konterks kemajuan pengetahuan ilmiah modern.[9]
Bultmann melanjutkan; kendati Alkitab dipenuhi dengan mitos tetapi semuanya itu tidak boleh dibuang begitu saja. Sebab jika hal itu dilakukan berarti sama saja dengan membuang semua halaman Alkitab yang penuh mitos.[10] Untuk menyelesaikan dilema ini maka Bultmann mengusulkan jalan keluarnya lewat demitologisasi. Demitologisasi bertugas untuk mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba menyingkapkan inti berita yang disebut dengan istilah kerygma di balik mitos tersebut sehingga Injil bisa dikomunikasikan secara efektif kepada manusia modern.[11]
Untuk bisa menemukan kerygma, Bultmann menggunakan metode penafsiran eksistensialisme atas Alkitab. Keyakinan bahwa Perjanjian Baru ditulis berdasarkan literatur Yahudi dan mitos yang tidak relevan lagi dengan manusia modern membuat Bultmann menafsirkan Alkitab secara eksistensial. Penafsiran ini bergantung pada manusia dimana pengalaman pribadilah yang mengontrol dan menentukan arah dan berita Alkitab, bukan lagi Roh Kudus. Isi Alkitab cenderung dicocokan dengan kondisi manusia.[12]
IV. Keyakinan Ortodoksi: Ineransi alkitab
Alkitab yang merupakan buku tertua di dunia diyakini oleh setidaknya kaum ortodksi Kristen bukan saja sebagai literatur agma kuno tetapi lebih dari itu Alkitab diyakini sebagai firman Allah. Alkitab yang adalah firman Allah tidak muncul begitu saja tanpa penyebab. Keberadaan Alkitab disebakan adanya pengilhaman Roh Allah yang menguasai dan mendorong hamba-hamba-Nya untuk menulis Alkitab. Dan oleh karena Alkitab diilhamkan oleh Roh Allah maka dengan sendirinya Alkitab memiliki wibawa ilahi.[13]
Sebagai kitab yang diilhami Roh Allah dan yang memiliki wibawa ilahi, kaum ortodoksi meyakini pula bahwa Alkitab sempurna, tidak mengandung kesalahan atau yang disebut dengan istilah ineransi. Yang dimaksud dengan ineransi di sini adalah keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis dan tanpa salah pada naskah aslinya. Hal ini berarti Alkitab harus dimengerti dari sudut latar belakang kebudayaan dan standar komunikasi yang ada pada waktu penulisannya. Bersama dengan itu ada juga praanggapan bahwa Allah yang benar mampu mengkomunikasikan firman-Nya dengan benar, tanpa salah.[14] Alkitab yang ineransi di sini adalah kanon Alkitab yang terdiri dari 66 kitab dan diakui oleh konsili Kristen di kota Karthago pada tahun 397.[15]
Dalam proses penulisan Alkitab yang diakui ineransi ada terdapat unsur manusiawi. Ketika menulis Alkitab, para penulis menulis dalam kesadaran penuh sebagai manusia. Bahkan bakat, pendindikan dan budaya para penulis terlihat jelas dalam tulisan masing-masing.[16] Adanya unsur manusiawi ini tidak mengurangi keyakinan akan ineransi Alkitab karena Roh Allah yang menuntun dan mengawasi para penulis sehingga mereka dapat menulis sesuai kehendak-Nya tanpa penyimpangan sedikit pun.[17]
Diakui bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang terkesan melemahkan akan keyakinan ineransi. Bagian-bagian tersebut adalah seperti yang tidak sesuai dengan ilmu modern, pemaparan alam yang fenomenal dan penggunaan gaya bahasa yang hiperbola.[18] Bagian-bagian yang dilematis ini bisa diluruskan dengan memahami bahwa ineransi Alkitab sebagi ketidakbersalahan dalam megatakan kebenaran.[19] Kebenaran tersebut adalah sesuatu yang berkoresponden, dengan fakta yang terbuka untuk diteliti dan diverifikasi ketepatannya.[20]
V. Telaah Kritis
Motivasi awal Bultmann dalam demitologisasinya sangat mulia dan tidak bermaksud menghina Alkitab. Ia mau menjadikan firman Allah yang ditulis pada zaman prailmiah dapat dimengerti oleh manusia modern sehinggga sabda Allah dapat didengarkan. Namun akibat dari teologi Bultmann ini ternyata justru menyerang Alkitab itu sendiri dari sisi ineransinya – demitologissasi menganggap Alkitab penuh dengan mitos.
Demitologisasi Bultmann membangun suatu anggapan bahwa selama kurang lebih 2000 tahun kekristenan telah dibangun dan berkembang di atas dasar mitos-mitos Alkitab yang tidak dapat dipercaya sehingga akan membuat siapapun menjadi skeptis tehadap kekristenan. Demitologisasi juga menyangkali isi Alkitab yang sifatnya supranatural dan sebagai akibatnya adalah kebangkitan Kristus (dianggap mitos) yang merupakan dasar iman Kristen ikut disangkali. Sebagai puncaknya, yaitu demitologisasi menyangkali inerasni Alkitab. Alkitab tidak lagi tidak mengandung kesalahan. Alkitab penuh dengan mitos-mitos yang bukan fakta sejarah. Dan karena Alkitab penuh dengan mitos maka tentu Alkitab bukan firman Allah melainkan hanya literatur agama kuno belaka yang berasal dari jemaat mula-mula. Oleh karena demitologisasi tidak sejalan dengan ineransi Alkitab tetapi justru menyerangnya maka ditinjau dari perspektif ortodoksi, teologi Bultmann ini sulit untuk diterima. Teologi Bultmann merusak dasar iman Kristen.
Kesalahan dari demitologisasi adalah adanya praanggapan bahwa Alkitab ditulis dalam nuansa mitologis. Praanggapan ini muncul karena dilihat bahwa isi Alkitab berbeda (asing) sekali dengan konteks manusia modern. Perbedaan itu ada karena Alkitab ditulis dalam konteks ‘dunia’ para penulis yang tentu saja jauh berbeda dengan konteks dunia modern. Jadi perbedaan ini adalalah wajar muncul. Tetapi dengan adanya perbedaan bukan berari isi Alkitab mitos. Dengan demikian praanggapan dari demitologisasi tidak dapat diterima. Kesalahan lain demitologisasi terletak pada metode penafsirannya. Dalam mengupas mitos Alkitab, Bultmann menggunakan penafsiran eksistensial, yang sifatnya tidak objektif melainkan subjektif, yang kebenarannya bergantung pada perasaan penafsir semata. Dengan subjektifitas ini apakah demitologisasi masih bisa dijadikan sebagai pegangan dalam menemukan pesan firman Allah? Tentu tidak!
Maksud mulia Bultmann yang mau memberitakan Injil kepada manusia modern sehingga membuatnya menempuh jalan demitologisasi memang patut dihargai namun Bultmann lupa bahwa hanyalah pekerjaan Roh Allah saja yang mampu menjamah hati manusia hingga manusia itu menerima Injil, bukan demitologisasi.
Samuel Novelman Wau, S.Th
[1] Yakub B. Susabda, Seri Pengantara Teologi Modern volume 1, (Jakarta: LRII, 1990), hal. 124-125.
[2] Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 1999), hal. 70.
[3] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2000), hal. 61.
[4] Tony Lane, Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hal. 237.
[5] Harvei M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), hal. 42-43.
[6] Susabda, ibid, hal. 128.
[7] Debora Suprihatin, Skripsi: Interpretasi Perjanjian Baru: Suatu Studi Terhadap Demitologisasi Bultmann, (Jakarta: STTIN, 2001), hal. 19.
[8] Coon, ibid, hal. 50.
[9] Hadiwijoyo, bid, hal. 73.
[10] J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologianya, (Jakarta: BPK-GM, 1989), hal. 11.
[11] Coon, ibid, hal. 51.
[12] Suprihatin, ibid, hal. 32-33.
[13] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: GM, 1995), hal. 96-97.
[14] Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen volume 1, (Bandung: KH), hal. 108.
[15] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 52.
[16] Ibid, hal. 73.
[17] Thiessen, ibid, hal. 100.
[18] Lukitao, ibid, hal. 109.
[19] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar volume 1, (Yogyakarta: Andi, 1991), hal. 108.
[20] Lukito, ibid, hal. 109.
Comments :
0 komentar to “TELAAH KRITIS TERHADAP DEMITOLOGISASI BULTMANN DALAM KAITANNYA DENGAN INERANSI ALKITAB”
Posting Komentar