Apologetika
─────────────────────────────────────────
METODE APOLOGETIKA DALAM KONTEKS
ISLAM INDONESIA
I. Pendahuluan
Dalam upaya umat Kristen berapologetika kepada umat Islam di Indonesia ada banyak metode yang sudah dilakukan, salah satunya, yaitu dengan metode pembuktian (evidential). Orang Kristen berusaha menyampaikan dan mengajak umat Islam menerima kebenaran iman Kristen dengan memaparkan banyak bukti yang meneguhkan kebenaran kekristenan. Misalnya, dalam sebagian besar isi buku Diskusi Ismael-Ishak jilid 1-3 penulis membuktikan kebenaran kebangkitan Kristus dengan banyak bukti yang akurat dan yang bersumber dari Alkitab, fakta sejarah, kesaksian orang banyak dan lain-lainnya.
Upaya di atas sangat baik untuk menjawab buku-buku yang selalu memojokkan kekristenan dan juga sangat menolong orang Kristen untuk mempertanggungjawabkan imannya kepada orang Islam di Indonesia. Namun metode seperti ini hanya akan memuasakan intelektual manusia yang memang menuntut bukti-bukti rasional. Sebaliknya memberikan banyak bukti kepada pendengar belum tentu ia akan percaya. Hanyalah pekerjaan Roh Kudus yang dapat menjamah hati manusia untuk percaya kepada Yesus. Jadi dari sini nampak bahwa berapologetika dalam konteks Islam Indonesia dengan metode pembuktian kurang tepat. Lalu dengan metode apa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba menemukannya lewat konsep teistik (kepercayaan kepada Allah) orang Islam Indonesia khususnya Islam santri.
II. Konteks Islam Santri di Indonesia
Agama Islam dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang Gujarat dan Persia sekitar pertengahan abad ke-13. Setelah agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara, terjadilah perpaduan antara budaya Islam yang bercorak Arab dengan budaya Indonesia yang sebelumnya dipengaruhi Hindu. Bentuk dari budaya Islam-Arab yang masuk ke Indonesia terlihat dalam bentuk seni bangunan (masjid), seni rupa (kaligrafi), aksara (Arab-Melayu), pemerintahan sebelum kemerdekaan (kesultanan). Bahkan yang lebih konkret saat ini, seperti cara berpakaian (jilbab) dan penerapan syariah di kantong-kantong Islam, merupakan pengaruh dari budaya Arab-Islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak hanya mempengaruhi budaya orang Indoneisa tetapi juga konsep teistik orang Indoneisa.
Agama Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad di Mekah pada abad ke-7 mengajarkan kepercayaan kepada keesaan Allah (tauhid). Ajaran tauhid ini terdapat dalam Surat 112, yang berbunyi: “Katakanlah: Dia, Allah, itu esa. Allah itu Dzat yang segala sesuatu bergantung pada-Nya. Ia tidak berputera, dan Ia tidak diputerakan, dan tak seorang pun menyertai Dia.” Lawan dari keesaan adalah syirik yang artinya mempersekutukan tuhan lain selain Allah.
Dalam Al-Quran, Trinitas dikecam sebagai bentuk syirik. Al-Quran mencatat: “Maka berimanlah kepada Allah dan para utusan-Nya. Dan janganlah kamu berkata: Tiga. Hentikanlah…” selanjutnya, ajaran tentang Allah berputera dikecam juga oleh Al-Quran. Sejumlah ayat yang mengecam konsep Allah berputera, yaitu 2:116; 6:102-104; 17:111; 112:3.
Bagi orang Islam, Allah yang esa itu merupakan pribadi yang mengatasi segala paham kebendaan, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, Ia berbeda sama sekali dengan manusia yang terbatas. Dan Ia tidak bisa digambarkan dengan apapun juga. Di dalam Al-Quran juga disebutkan 99 sifat Allah. Sifat-sifat ini menekankan bahwa Ia lebih besar, sumber semua kualitas positif di alam semesta. Dunia menjadi ada karena ia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas), Al-Muhyi (memberi kehidupan), Al-Alim (mengetahui segala sesuatu dan Al-Kalim (berfirman).
Konsep teistik Islam ini dianut oleh semua orang Islam di Indonesia, khususnya Islam santri yang cenderung rasionalis dan mempunyai peranan besar dalam mempertahankan dan mengembangkan keberadaan Islam di bumi Indonesia.
III. Metode Presuposisional Terhadap Konsep Teistik Islam Santri di Indonesia
1. Kemungkina Presuposisioanl dalam berapologet
Berapologet kepada orang Islam santri di Indonesia dengan metode presuposisioanal apologetic (bergantung pada Allah) tidaklah sesulit jika berapologet kepada seorang ateis (yang tidak bergantung pada Allah) dengan metode yang sama pula. Ada titik temu yang memudahkan seorang apologis membangun dialog dengan orang Islam Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Allah.
Kepercayaan kepada Allah ini merupakan modal pertama seorang apologis Kristen untuk berapologet dengan orang Islam Indonesia. Hanya perlu diakui bahwa Allah dalam agama Islam tidak sama dengan konsep Allah Alkitab yang menjadi presuposisional apologetic apologis Kristen. Karena itu tugas apologis berikutnya, yaitu memperjelas presuposisionalnya dari yang bergantung pada Allah dalam pengertian umum kepada Allah Alkitab. Artinya ketika apologis berapologet terhadap konsep teistik Islam santri ia harus selalu berpresuposisikan ketuhanan Yesus.
2. Pengertian Presuposisional apologetic
Presuposisioanl apologetic tidak menolak sepenuhnya bukti-bukti dalam berapologet. Namun prinsip utama metode ini adalah lebih mengedepankan proses logika saat berargumentasi. Dalam proses logika harus ada titik berangkat bersama antara apologis dengan lawan apologetnya. Dan titik berangkat itu adalah presuposisional, komitmen dasar, yang terdiri dari dua sisi, yaitu bergantung pada Allah atau tidak betantung pada Allah.
Di dalam bukunya, John M. Frame menulis: “Seorang apologis Kristen haruslah orang yang percaya di dalam Kristus, dan berekomitmen terhdap ketuhanan Yesus.” Ia menutip 1 Petrus 3:15: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan.” Selanjutnya ia mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi apologis harus berpresuposisikan ketuhanan tersebut. Dengan demikian seorang apologis ketika berapologet harus selalu berangkat dari komitmen dasar yang beragantung pada Allah dan menyingkirkan semua presuposisional lain.
3. Apologetika berdasarkan presuposisioanl apologetic
Konsep teistik Islam seperti sifat-sifat Allah dan kemutlakkan-Nya hampir sama dengan teistik Kristen sehingga tidak perlu lagi diangkat sebagai isu apologetika. Namun keesaan (tauhid) Allah yang berakibat menyerang konsep ‘Tritunggal’ dan konsep ‘Anak Allah’ harus ditinjau kembali berdasarkan presuposisional apologetic.
Dalam bukunya, Islamologi, Maulana menerangkan bahwa Allah adalah Dzat yang esa. Yang dimaksud esa Dzatnya ialah bahwa tak ada tuhan lebih dari satu dan tak ada sekutu bagi-Nya. Dengan demikian kata esa ini menekankan dua hal, yaitu pertama, esa sama dengan satu, dan angka satu tidak memberikan tempat bagi konsep Tritunggal. Kedua, esa berarti menolak sekutu yang lain, dan penolakan itu tidak memberikan juga tempat bagi konsep Anak Allah.
Menjawab teistik Islam ini, seorang apologis harus menggunakan presuposisional apologetic, yaitu proses logika. Kata esa di atas yang menekankan dua hal bisa dijawab demikian: Pertama, esa sama dengan satu. Angka satu adalah angka matematis manusia yang terbatas. Allah bukanlah manusia yang terbatas. Jadi Allah yang esa tidaklah harus satu tetapi bisa lebih dari satu, yaitu Tritunggal. Kedua, esa menolak sekutu yang lain, Anak Allah. Anak dalam pengertian manusia adalah seorang yang dilahirkan / hasil dari hubungan biologis pria dan wanita (manusia). Allah adalah Roh, Ia bukan manusia. Jadi Allah yang esa bisa mempunyai anak (sekutu) yang tidak sama dengan pengertian manusia (biologis).
4. Sumbangsih Konsep Defeater
Konsep teistik Islam santri di Indonesia merupakan point penting yang sangat menolong untuk menerapkan metode presuposisional apologetic dalam konteks Islam Indonesia. Hanya, apabila metode ini sudah memasuki ruang dialog yang riil akan mengalami benturan dengan paradigma Islam santri yagn rasionalis. Misalnya, apologis berargumentasi dengan presuposisional demikian: “Yesus adalah Allah yang Mahakuasa.” Kemungkinan lawan akan menjawab: “Secara historis Yesus dikenal sebagai manusia biasa.” Apabila sudah demikian maka dialog akan terhenti dan apologet kristiani pun gagal. Mengatasi hal seperti itu maka perlu ada faktor penunjang terhadap metode presuposisioanl aspologetic sehingga ini bisa efektif diterapkan dalam sebuah dialog.
Seorang tokoh yang memperkenalkan metode presuposisional apologetic, memformulasikan juga apologetik dalam konsep yang disebut dengan defeater, yaitu suatu argumentasi yang mengalahkan sebuah kepercayaan. Dengan konsep ini seorang apologis bisa memberikan sanggahan terhadap pernyataan lawan dialognya yang rasionalis, contohnya:
Apologis : Yesus adalah Allah yang Mahakuasa
Lawan : Secara historis Yesus dikenal sebagai manusia biasa.
Kesimpulan : Tidak rasional mengatakan bahwa Yesus adalah
Allah yang Mahakuasa
Defeater : Dalam kemahakuasaan-Nya Allah bisa menjadi apa
saja termasuk menjadi manusia.
Defeater ini bisa membantu apologis untuk terus membangun dialog dengan lawan apologetnya dalam kerangka presuposisional apologetic.
IV. Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bahwa berapologet dengan menggunakan metode pembuktian (evidential) dalam konteks Islam di Indonesia kurang tepat. Sebaliknya metode presuposisional apologetic lebih tepat untuk diterapkan, karena ada titik temunya dengan lawan dialog, yaitu unsur kepercayaan kepada Allah yang ada dalam diri orang Islam Indonesia. Metode ini akan semakin efektif diterapkan dalam sebuah dialog jika didukung dengan konsep defeater.
Walaupun demikian namun perlu diperhatikan bahwa metode yang terbaik sekalipun belum tentu bisa membawa orang percaya kepada Kristus. Metode-metode tertentu yang diformulasikan tidak berarti bisa menghilangkan masalah spiritual, yakni sikap berdosa dengan hanya menjadi bersifat intelektual. Sikap berdosa dapat hadir, tidak perduli jenis metode apa yang digunakan.
Samuel Novelman Wau, S.Th